Tuesday 14 November 2017

Apakah bermain forex halal


yg tau ilmu agama. apakah maen forek haram tq .. Odpowiedz Forex ga haram. yang haram itu główny forex .. karena główny forex główny judi. Gra Sifatnya zero sumy. yang artinya keuntungan satu pihak MURNI berasal dari kerugian pihak2 yang lain. Coba cari di wikipedia tentang zero sumowa gra. Saya kurang setuju ama stovena. Główne forex haram bukan hanya bagi jang tidak memiliki ilmu, perhitungan dan strategi. (czysty hazard) karena ingat. judi sendiri adaqustrateginyaquot lho. tapi bukan berarti orang yang główny zasada i pake strategiczny lantas judinya jadi halal. Judi haram karena sifatnya yang zero suma gra Bermain Forex. karena sifatnya zero sum gry. maka hukumnya judi. Karena sama dengan memperjual belikan uang. Tapi kalau semata2 hanya pertukaran mata uang tanpa menginginkan margines keuntungan (bukan główny forex) maka halal karena pamięć terkadang kita perlu menukar mata uang. Seperti saat pergi ke luar negeri. Demikian. semoga membantu. Apa hukum bermain Forex mata islamu Semakin maraknya permainan forex z Indonezji, apakah tidak ada tanggapan dari para tokoh Islamski Saya sampai sekarang belum begitu paham dengan hukum bermain forex ini, apakah boleh atau haram. Ada juga yang bilang boleh kalau ada ilmu atau keahlian dalam bermainnya, kecuali tidak mengerti sa sekali i hanya bersifat untung-untungan. Tolong donk, teman-teman atau ustadz-ustadzić się do góry w dżihańskiej drodze do męczarni .. Kalau haramhalal, dimana letak haramhalal nya itu. Wykończenia. Odpowiedź setau saya islam melarang bermain forex. karena kegiatan utamanya adalah memperbelikan nilai mata uang. dlm islam tdk boleh. selain itu ada unsur judi nya juga. saya pernah ditawari kerja di kantor forex, tp saya tolak. karena saya memegang nilai agama. uang hanya boleh dipakai untuk membeli barang (beras, ikan dll) yg pasti barang halal. Halalkah Forex, Komoditi i Stodex Q. ada tiga przyszłość handlu yang paling populer. forex (valas), komoditi, dan Stock indexstodex (Hang Seng, Nikkei, Kospi). apakah transaksi i keuntunganprofit dari ketiganya itu halal dalam Islamski saya ingin terjun dalam bidang ini sebagai pendapatan sampingan (bila halal). terima kasih. kalo mau tau apa itu, silakan buka asiaberjangka. co. id Odpowiedź maaf, pertama saya ingin memberi tanggapan dari satu jawaban pada delegowanie anda. bahwasanya uang hasil judi yang haram, bila ia gunakan sebagai modal usaha, maka uang hasil usaha i itu murni halal. demikian pula, przyszły handel bukanlah penipuan. yang ada kemungkinan penipuan adalah bisnis seperti HYIP, atau penggandaan uang dan sejenisnya yang tidak jelas metodenya. namun ada baiknya i tetap memilih pialang berjangka yang terdaftar di bappebti (bappebti. go. iddataperusahaanpialang. asp). karena kini telah ada pialang berjangka yang membuka na linii handlowej sendiri tanpa harus menggunakan uang virtual. tentang pertanyaan anda, ada dua jawaban, saya pernah diberi selebarannya oleh broker saya, tapi ternyata ada di intenet. silakan: forum. kompassaham-and-valas1147-forex-trading-ditinjau-dari-hukum-islam. html di situ, bisa dilihat bahwa jawabannya adalah halal selama dilakukan dengan cara spot dengan maksimum waktu 2 hari. jadi kalau anda bertransaksi pagi hari i menyelesaikan transaksi siang atau malam hari, itu masih halal. (silakan baca di link tersebut agar lebih lengkap) borneo. blogsome20070222forex-dalam-sudut-pandang-islam kesimpulannya, quotdengan demikian, hukum i pelaksanaan PBK (Perdagangan Berjangka Komoditi) sampai batas-batas tertentu boleh di nyatakan dapat diterima, atau setidak-tidaknya sesuai dengan semangat dan jiwa norma hukum Islam, dengan menganalogikan kepada bayacirc al-salam. quot Oh ya, Undang-Undang di situ bukan tahun 1977, tapi UU nr 32 Tahun 1997. (silakan baca di link tersebut agar lebih lengkap) kalau merujuk pada spekulasi, tidak sepenuhnya benar, karena ada barometr-barometr yang harus i perhatikan sebelum bertransaksi. ada analisa pasar, dan sebaiknya i memiliki pengetahuan yang memadai mengenai analisa-analisa seperti analisa teknikal, fundamentalny, fibonacci, dan lain-lain. jika anda ingin memulai usaha sampingan dari sini, silakan saja, tapi sebaiknya i tetap berhati-hati dan i meninggalkan pekerjaan anda sekarang. anda bisa memulainya misalnya dengan menggunakan konto demo untuk berlatih. kini di koran (Kompas) sering muncul iklan seminarium gratis untuk mengetahui metoda trading yang memperkecil kemungkinan anda strata dan memperbesar peluang profit, saya kira anda bisa ikut training itu untuk berpikir lebih lanjut. ada pula quotjasaquot na linii yang memberitahukan anda posisi yang sebaiknya anda ambil. tapi tetap saja ada kemungkinan salah. saya sendiri memiliki akun di salah sati pialang telah berjalan selama 6 bulan i lancar hingga kini, karena banyak yang saya pelajari terminasuk quotaset khususquot dari broker saya yang telah ia teliti selama 3 tahun. alhamdulillah, hasilnya baik. maksimal hanya 3 kali strata z 22 transaksi. yang terpenting, jangan anda percaya pada broker yang menawarkan pasti untung. jangan percaya hal tersebut. pośrednik sendiri punya kode etik yang melarang hal tersebut. anda juga bisa meminih nie ma handlu online sendiri seperti yang saya lakukan. uaktualnij stronę internetową i pobieraj platformę pyleang yang bersangkutan. wtorek, czwartek, czwartek, wtorek, czwartek, czwartek, czwartek, czwartek, czwartek, czwartek, czwartek, czwartek, 31 grudnia 2009 dan juga perniagaan Forex. Bagaimana pula jika saya melakukan transaksi sendiri dengan berbekalkan analisa sendiri atau yang disediakan oleh broker dengan melayari internet. Kemudian memperolehi untung dari jualan and belian matawang asing ini. Terima kasih Bagi menjawab soalan ini, i perlu memahami dua jenis perkara iaitu: - 1 - Melabur wang ringgit i ke dalam satu syarikat yang memperolehi untung melalui FOREX. 2- Melantik satu platforma atau syarikat untuk menjalankan jual beli wang asing dan simpan. Semua transaksi dijalankan oleh anda sendiri, syarikat hanya menyediakan platforma mengambil upah perkhidmatan sahaja. Pertama. Hukum bagi melabur dalam syarikat yang menjalankan FOREX: Forex (Foreign Exchange) atau yang lebih dikenal dengan Perdagangan Mata wang Asing Ia merupakan suatu jenis perdagangantransaksi yang memperdagangkan matawang suatu negara terhadap matawang negara lainnya yang melibatkan pasar-pasar matawang utama di dunia selama 24 jam secara berterusan. Benar, memang FOREX matawang adalah diharuskan, tetapi keharusannya tertakluk kepada sejauh mana ia menurut garis panduan yang dikeluarkan dari hadis Nabi yang sohih. Iaitu: - a-Ditukar (serah dana terima) dalam waktu yang sama ia disebut dalam hadis sebagai yadan bi yadin. Dalam bahasa Inggerisnya adalah na miejscu. Ia datang banyak hadis antara jang paling utama adalah:. . . . . . . . . Ertinya. Emas dengan Emas (ditukar atau diniagakan). perak dengan perak, gandum dengan gandum, tamar dengan tamar, garam dengan garam mestilah sama timbangan dan sukatannya, dan ditukar secara terus (pada satu masa) dan sekiranya berlainan jenis, maka berjual-belilah kamu sebagaimana yang disukai (Riwayat Muslim, nr 4039 nie hadis 119). b - Nabi bersabda: - Ertinya. Sesungguhnya Rasulullah s. a.w berkata. Pertukaran antara perak dan emas adalah riba kecuali jika ia dilakukan sekara serentak (Riwayat muzułmanin, nr 1586, 31209) c - Manakala pembelian secara hutang dari salah satu antara dua pihak adalah haram berdasarkan hadis: - Ertinya. Rasulullah s. a.w melarang dari menjual emas dan perak secara berhutang (Riwayat Al-Bukhari, nr 2070, 2762) Hadis-hadis di atas menyebut perihal przemieszczenie islam dalam pertukaran emas dan perak. Untuk informasi, ulama bersepakat bahawa matawang (bank note) juga adalah sama wymarzony dennis emas dan perak disebabkankan nilai dan fungsinya sebagai środek wymiany. Justeru setiap przemieszczenia i syarat transaksi yang melibatkan emas i perak juga TERPAKAI pada urusan transaksi matwang. Demikian keputusan Majlis Fiqh Antrabangsa i juga Majlis Kewangan Islam Antarabangsa di bawah AAOIFI. FOREX dalam matawang yang diuruskan oleje syarikat konvensional sudah pasti tidak akan menjaga syarat ini kerana kebanyakan FOREX yang dijalankan oleh institusi Konvensional adalah lsquoForward FOREX atau Forex yang menggunakan lsquoValue naprzód (nilai masa hadapan) yang tergolong dalam Riba Nasiah. Mereka juga kerap menggunakan SWAP, Opcje i narzędzia lain-lain yang tidak halal di sisi Szariat. Instrumen-instrumen tadi tidak memenuhi syarat islam islam islam islam islam islam islam islam islam is an unknown quantity at this point Najwyższy stopień wiarygodności tożsamości islamu. Masalah dalam implementasi FOREX adalah bertangguh dalam penyerahan dari kedua-dua pihak. Tatkala itu aqad menjadi batal (Radd al-Muhtar ala ad-durr, 4531). Tidak saya nafikan, bahawa terdapat sesetengah Instytucje Kewangan islam yang melakukan forex ini setelah mendapatkan kelulusan Majlis Penasihat Szariat mereka, Namun semua mereka hanya terlibat dalam FOREX jenis SPOT i bukannya jenis lsquoDozwierz się jika naprzód ia menggunakan konsep Al-WAD atau Jednostronna Promise dan ia telah disepakati keharusannya. Apa yang pasti, Majlis Szariah mereka telah meletakkan beberapa syarat i bukannya secara bebas begitu sahaja. Justeru MELABUR MODAL (BEERTI ANDA MELABUR DAN KEMUDIAN TUNGGU UNTUNG SAHAJA) dan di dalam institusi kewangan konvensional yang memperolei untung melalui cara FOREX adalah tidak halal di sisi islam. Ia adalah keputusan Panel Penasihat Szariat dunia yang bernaung di bawah nama Audyt księgowy organizacji islamskich instytucji (AAOIFI). Antara panel penasiat Shariahnya adalah Syeikh Mufti Taqi Uthmani, prof. Dr Syeikh Wahbah Zuhayli, prof. Dr Syeikh Siddiq Dharir, Syeikh Abdullah al-Mani, dr Abd Sattar Abu Ghuddah, Syeikh dr Nazih Hammad, Syeikh Dr Hussain Hamid Hassan, Syeikh Nizam Yaquby, Dr Mohd Daud Bakar, Sajikh Al-Ayashi al-Sadiq Faddad, Syeikh Doktor Ajil Nashmi dan ramai lagi. KEDUA. Hukum FOREX TRADING yang dijalankan sendiri - Bagi mengetahui hukum bagi bentuk kedua ini, pertama-tamanya ia tertakluk kepada: - a-terdapat unsur judi atau tidak apabila membeli and menjual matawnag hanya kerana mengharap keuntungan dari perbezaaan nilainya. bukan kerana digunapakai di negara matawang terbabit. Maka setelah kajian perinci of JAKIM za ISRA, mendapati unsur juda adalah wujud maka jena forex trading adalah HARAM. b - Kesohihan and kewibawaan syarikat platform dari sudut lesennya dan pengenalannya. Ia diperlukan bagi mengelak anda ditipu oleh platforma syarikat yang tidak sebenar. Butiran terperinci berkenaan platforma ini mestilah diteliti dan boleh diperolehi. Jika tidak, transaksi i adalah syubhat dari awal lagi keran terdapat unsur gharar. b - platforma Jika, która może być używana do wymiany informacji, a także zmniejszyć prędkość transmisji danych, a także zwiększyć prawdopodobieństwo wystąpienia błędu w czasie rzeczywistym. Ini peru bagi memastikan anda tidak terlibat dengan aktiviti menyalahi undang-undang negara. Jika yang kedua juga lulus, saya kira transaksi jual matawang, asing i danadian jula semula apabila harga tukarannya naik adalah harra kerana ia sekara automatiknya dilaksanakan menurut kaedah lsquospot. Namun mari kita sama-sama kuba mehami dan menyemak bagaimana proses ini dilakukan sekara ringkas dan melihat pandangan Islam tentangnya. Setakat apa yang diterangkan olein individu yang terlibat dan yang tahu berkenaan cara forex handel memlali internet ini. Ia seperti berikut: - 1) minimalny moda Ia mempunyai. Udział w kontrakcie USD 1, 100 USD na koncie, w tym berbeza mengikut polis syarikat forex trading masing-masing. 2) Dengan modal itu, pihak syarikat platforma forex trading ini akam membukakan satu akaun khas buat peserta. Setelah itu, pihak peserta akan menentukan samada untuk membuka kaunter jualan matawangnya dalam akaun atau membuka kaunter belian. Gambaran mudahnya adalah: - Katalah modalnya USD 100 jang dibeli dengan tukaran semasa hari tersebut USD 1 RM 3,6, dan dibuka kaunter lsquoselling melalui platforma syarikat tersebut. Kliknij tutaj, aby się zalogować albo tutaj aby wypełnić Twoje konto. Kliknij tutaj, aby się zalogować albo tutaj żeby założyć konto lub email. Kliknij tutaj, aby się zalogować albo tutaj żeby założyć konto lub móc wypełnić formularz dla tej osoby Zaloguj się, aby otrzymywać powiadomienia o radomcie rocznicowej RM 40 berbanding harga belian asalnya tadi. Pihak syarikat FOREX ini MESTILAH memasukkan seluruh RM 400 itu sebaik sahaja transaksi jual beli dilakukan, TIDAK DIBENARKAN DILEWATKAN ATAU DIMASUKKAN SEBAHAGIAN SAHAJA, jika dalam contah di atas, hanya RM 40 dimasukkan, manakala baki modal sebanyak RM 360 hanja akan dimasukkan sejurus peserta menutup akaun pada hari tersebut. Isu Shariah. Jika ini tidak berlaku, maka ia lulus dari sudut Szariat, namun jika kelewatan berlaku, isu Szariat szarym adalah berlaku penangguhan dalam penyerahan matawang ringgit. Ini menjadikan ia bercangah dengan arahan Nabi s. a.w: - Dalam menukar wang dengan wang, Nabi telah menyebut garis panduan yang mesti dipatuhi iaitu: Ertinya. Sesungguhnya Rasulullah s. a.w berkata. Pertukaran antara perak dan emas adalah riba kecuali jika ia dilakukan sekara serentak (Riwayat muzułmanin, nr 1586, 31209) Manakala pembelian secara hutang dari salah satu antara dua pihak adalah haram berdasarkan hadis: - Ertinya. Rasulullah widział melarang dari menjual emas dan perak secara berhutang (Riwayat Al-Bukhari, nr 2070, 2762) Imam An-Nawawi telah menyebut denang terang bahawa para ulama telesir bajeratik wajibnya syarat serah terima dalam satu masa atau lsquoTaqabud samada secara hakiki (fizikal) atau hukmi (melalui mediuam internet tetapi punyai bukti seperti resit atau nota elektronik yang menunjukkan transaski sah) (Syarah Sohih muzułmański) Cadangan. Mesti dipastikan bahawa semada transkasi jual beli dilakukan, kesemua modal dicampur untung dimasukkan di dalam akaun kita tanpa sebara tangguh, i sekara automatika juga kita boleh mengeluarkan wang tersebut tanpa sebarang halangan. 3) Terdapat syarikat yang mensyaratkan minimum modal yang tinggi seperti USD 1000 dan lain-lain jumlah. Untuk itu mereka menawarkan apa yang dinamakan dźwignię yangmana modal peserta akan digandakan. Miesięczny kontrakt, katalah modal sebenar anda adalah USD 100. Maka anda dikehendaki memu ath atau secara pilihan memlih gandaan yang dikehendaki. Seperti 1. 10 beerti modal i akan digandakan kepada 10 kali menjadi 1000 USD atau jika memilih 1: 100, beerti modal anda menjadi 10000 USD. Dengan jumlah baru inilah matawang i akan di pasarkan di pasaran. Wykorzystanie różnych instrumentów finansowych lub pożyczonych kapitałów, takich jak margines, w celu zwiększenia potencjalnego zwrotu inwestycji. Dźwignia może zostać utworzona poprzez opcje, kontrakty futures, marżę i inne instrumenty finansowe. Na przykład powiedzmy, że masz 1000 do zainwestowania. Kwota ta mogłaby zostać zainwestowana w 10 akcji akcji firmy Microsoft, ale aby zwiększyć dźwignię, możesz zainwestować 1000 na pięć opcji. Następnie zamiast 500, zamiast 10 (Rujukan), będziesz kontrolował 500 akcji zamiast tego. (Jukatan Jari), a przecież nie ma menggunakan. Leverage ini adalah HARAM kerana ia dikira menjual matawang yang tidak di dalam milik anda. Milik sebenar anda hanyalah USD 100 tetapi yang dijual adalah 10.000. Ia berdasarkan apa yang disebut oleh Nabi s. a.w. Ertinya. Janganlah kamu menjual sesuatu yang tidak di dalam milikmu (Riwayat Abu Daud, nr 3504, 3283) Malah saya juga hampir pasti, wang yang digandakan oleje syarikatowe itu dikira sebagai pembergia pinjaman dan sudah tentu mereka akan mengambil sedukit keuntungan samada diketahui atau tidak diketahui oleh peserta . Jika ini berlaku, sekali lagi riba telah berlaku. Bagi mengelakkan perkara yang ditegah olehati dari berlaku di sini, penggunaan leverage 1: 1 sahaja yang dibenarkan. Wallahualam. 4) Diberitakan juga pihak syarikat menasihatkan peserta agar menggunakan modalnya kurang dari 30 bagi mengurangkan risiko semada trading dijalankan. Dan jika terdapat masalah kemungkinan rugi atau apa yang dinamakan margines call, pihak peserta dibenarkan untuk membuka kaunter satu lagi samada jual atau beli bagi menyeimbangkan kemungkinan rugi. Pandangan. Wallahualam, jika semunya dilaksanakan dengan jelas i perancangan yang betul. Setakat ini saya adidas adanya masalah Shariah dalam tindakan in KECUALI IA MEMPUNYAI ELEMN PERJUDYNA YANG JELAS KERANA MEMORY NILATNIE JEST JEDNĄ JEDNĄ JEDNĄ JEDNĄ JEDNĄ JEDNĄ JEDNĄ JEDNĄ JEDNĄ JEDNĄ JEDNĄ JEDNĄ JEDNĄ JEDNĄ JEDNĄ JEST PÓŁNOCNA. Wallahualam. Walaupun berniaga wyślij do przyjaciela zaloguj się lub zaloguj się Zapamiętaj mnie na tym komputerze Zapomniałeś hasła? Kliknij tutaj, aby się zalogować albo tutaj żeby zamieścić treść pytania. diniagakan bagi memperolehi untung dari perbezan nilainya. Kita tahu nilai matwang kini tadak lagi bersandarkan emas atau perak, wang kertas hari ini (pieniądze fiat) tidak mempunyai nilai tersendiri (seperti logam emas i perak) kecuali nilainya datang dari pasaran globalny yang ditentukan popyt i podaż dunia dansi. Justeru, menjadikan cara ini bagi memberikan anak dan isteri makan bukanlah satu bentuk kerjaya yang terpuji dalam islam. Malah ia sebenarnya membantu sistem kapitalis i menguatkan sistem ekonomi yang mereka anjurkan. Justeru, fikirkanlah. Jika ia tidak ingin menerima padnagan saya, tidak mengapa tetapi bacalah pendapat ulama besar kewangan Islamska sedunia iaitu Syeikh Mufti Taqi Uthmani dalam hal ini: Handel walutami przez Mufti Muhammad Taqi Usmani Wysłany: 11 Zul QaDah 1424, 22 listopada 2007 Q.) Czy Forex Waluta Handel halal Dołączyłam dokument opisujący aspekty działalności. A.) Przeszedłem przez ciebie papierami. Jestem zdania, że ​​transakcje te nie są zgodne z szariatem. Sam fakt, że nie można zabrać dostawy zakupionej waluty sprawia, że ​​jest to niedopuszczalne. Co więcej, według mojej wiedzy są inne elementy, które powodują, że handel ten jest niezgodny z prawem w szariatu, na przykład sprzedażą na odległość, krótką sprzedażą itd. Jest to dodatkowe, że waluty były pierwotnie środkiem wymiany i powinny być wymieniane tylko na osobistego użytku w różnych krajach. Ułatwienie ich zbywalnemu towarowi tylko za zarabianie zysków jest również sprzeczne z podstawową filozofią islamskiej ekonomii. W związku z tym nie radziłbym, abyś się tym zajął. Sila Buka Sumber. Forex Trading Adakah i mengenali siapa Syeikh Mufti Taqi Uthmani, sila buka di sini nie mengenalinya. Zaharuddin Abd Rahman 28 Zulhijjah 1428 ps. Semua pemain forex, nie mów jawpaan saya inin adalah jawapan yang dipermudah agar ia boleh difahami orang awam. Jika terdapat kesilapan teknik carajual dan beli, boleh dimaklumakn kepada di ruangan komentarze kerana info tentang tatacara di atlas juga saya perolehi dari yang terlibat. Syaa tiada masa untuk membuat pembacaan and kajian sendiri di ketika ini. Sekian Dodaj tę stronę do swoich ulubionych Społeczności Bookmarking websites More. Fatwa MUI Tentang Jual Beli Mata Uang (AL-SHARF) Pertanyaan yang pasti ditanyakan ora Indonesia. 1. Apakah Trading Forex Haram 2. Apakah Trading Forex Halal 3. Apakah Trading Forex Dalebokat Dama Agama Islam 4. Apakah SWAP itu Mari kita bahas dengan artikel yang pertama. Forex Dalam Hukum Islam Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAŻ FIQHIYAH Kapita Selecta Hukum Islam, bahipoetics Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbol karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhankomoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu UANG yang masing masaże negara mempunyai ketentuan sentiri i berbeda satu sama lainnya sesuai dengan penawaran i permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antar negara. NaleŜy uwaŜać, Ŝe w porę roku nie ma miejsca zamieszkania. BURSA atau PASAR yang bersifat internasional daltam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang negara dengan negara lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai tom permintaan dan penawarannya. Adanya permintaan and penawaran inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang sekretarz nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai. HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAS 1. Ada Ijab-Qobul. --- ada perjanjian untuk memberi menerima Penny menyerahkan barang i pembeli membayar tunai. Ijab-Qobulnya dilakukan dengan lisan, tulisan dan utusan. Pe mbeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melaksanakan dan melakukan tindakantindakan hukum (dewasa i berpikiran sehat) 2. Meczet syarat menjadi zjezdni jūbėjā: Suci barangnya (bukan najis) Dapat dimanfaatkan Dapat diserahterima kan Jelek barang dan harganya Dijual (dibeli) oleh pemiliknya sendiri atau kuasanya atas izin pemiliknya Barang sudah berada ditangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan. Perlu ditambahkan pendapat Muhammad Isa, bahwa jual beli saham itu diperbolehkan dalam agama. Jangan kamu membeli ikan dalam air, karena sesungguhnya jual beli jang demikian itu mengandung penipuan. (Hadis Ahmad bin Hambal i Al Baihaqi i Ibnu Masud) Jual beli barang yang tidak di tempat transaksi diperbolehkan dengan syarat haru diterangkan sifatsifatnya atau ciri-cirinya. Kemudian jika barang sesuai dengan keterangan penjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunyai hak whenyar, artinya boleh meneruskan atau membatalkan jual belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah: Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika ia telah melihatnya. Jual beli hasil tanam yang masih terpendam, seperti ketela, kentang, bawangi sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena akan mengalami kaukazu kaukazu jika haru mengeluarkan semua hasil tanaman yang terpendam untuk dijual. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum islam: Kesulitan itu menarik kemudahan. Demikian juga jual beli barang-barang yang telah terbungkustertutup, seperti makanan kalengan, LPG, dan sebagainya, asalkam diberi etykieta yang menerangkan isinya. Vide Sabiq, op. cit. hal. 135. Mengenai teks kaidah hukum islam tersebut di atas, vide Al Suyuthi, Al Ashbah wa alairair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 hal. 55. JUAL BELI VALUTA ASING DAN SAHAM Władza malejąca dennis valuta as adalah mata uang luar negeri seperi dolar Amerika, walczący Inggris, ringgit Malezja i Sebaski. Apabila antara negara terjadi perdagangan internasional maka tiap negara membutuhkan waluta asing untuk alat bayar luar negeri yang dalam dunia perdagangan disebut devisa. Misalnya eksportir Indonezja akan memperoleh devisa dari hasil ekspornya, sebaliknya importir Indonezja memerlukan devisa untuk mengimpor dari luar negeri. Dengan demikian akan timbul penalaran i perminataan di bursa valuta asing. setiap negara berwenang penuh menetapkan kurs uangnya masing-masing (kurs adalah perbandingan nilai uangnya terhadap mata uang asing) misalnya 1 dolar Amerika Rp. 12.000. Klawisze Namun kursy ukończone w pakiecie nilai tukar setiap saat bisa berubah-ubah, tergantung pada kekuatan ekonomi negara masing-masing. Pencatatan kurs uang i transaksi jual beli valuta asing diselenggarakan di Bursa Valuta Asing (AWJ Tupanno, i in. Ekonomi i Koperasi, Jakarta, Depdikbud 1982, hal 76-77) FATWA MUI TENTANG PERDAGANGAN VALAS Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonezja Nie: 28DSN-MUIIII2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf) a. Bahwa dalam sejumlah kegiatan untuk memenuhi berbagai keperluan, sergekali diperlukan transaksi jual-beli mata uang (al-sharf), baik antar mata uhui saunun antar mata uang berlainan jenis. b. Bahwa dalam urf Zgłoś uwagę lub komentarz do hasła tijari (tradisi perdagangan) transaksi jual beli mata ż dikenal beberapa ż Zgłoś uwagę lub komentarz do hasła transaksi yang status hukumnya dalam pandangan ajaran Islam berbeda ż antara satu bentuk dengan bentuk lain. do. Bahwa agar kegiatan transaksi tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran islam, DSN pamięta perkaminę fatwa tentang al-Szarf nieprzyjaciela pedoman. 1. Firman Allah, QS. Al-Baqarah2: 275:. Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. 2. Hadis nabi riwayat al-Baihaqi i Ibnu Majah dari Abu Said al-Khudri: Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak) (HR albaihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban). 3. Hadis Nabi Riwayat muzułmanin, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibn Majah, dengan teks muzułmanin dari Ubadah bin Shamit, Nabi widział bersabda: (Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sam pan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai .. 4. Hadis Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad, Dari Umar bin Khattab, Nabi widział bersabda: (Jual-beli) emas dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai. 5. Hadis Nabi riwayat muzułmanin z Abu Said al-Khudri, Nabi widział bersabda: Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) i janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) i janganlah menambahkan sebagaian atas sebagian yang lain dan janganlah menjali emas i perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai. 6. Hadis Nabi riwayat muzułmanin z Bara bin Azib i Zaid bin Arqam. Rasulullah zobaczył melarang menjual perak dengan emas sekarę piutang (tidak tunai). 7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf: Perjanjian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan kaum muslimin teratur dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. 8. Ijma. Ulama sepakat (ijma) bahwa akad al-sharf disyariatkan dengan syarat-syarat tertentu 1. Surat dari pimpinah Jednostka Usaha Syariah Bank BNI nr. UUS2878 2. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional pada Hari Kamis, Tanggal 14 Muharram 1423H 28 Maret 2002. Dewan Syariah Nasional Menetapkan. FATWA TENTANG JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF). Pertama. Ketentuan Umum Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan). 2. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan). 3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama i secara tunai (at-taqabudh). 4. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi i secara tunai. Kedua. Jenis-jenis transaksi Valuta Asing 1. Transaksi SPOT, yaitu transaksi pembelian i penjualan valuta asing nieprzyjaciel pada saat itu (przez licznik) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunika, sedangkan watku dui hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bis dihindari i merupakan transaksi internasional. 2. Transaksi FORWARD, yaitu transaksi pembelian i penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang i diberlakukan untuk waktu yang akang datang, antara 2x24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwaadah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu saman dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward porozumienie untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah) 3. Transaksi SWAP yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga naprzód. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). 4. Transaksi OPCJA yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit waluta asing pada harga jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). Ketiga. Fatwa ini berlaku sejg tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah i disempurnakan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di. Dżakarta Tanggal. 14 Muharram 1423 H 28 Marzec 2002 M DEWAN SYARIAH NASIONAL - MAJELIS ULAMA INDONESIAHukum Trading Forex Menurut MUI Halal atau Haram Hukum Trading Forex Menurut MUI Halal atau Haram Mengingat banyaknya yang mempertanyakan apa hukum trading forex menurutislam (meski sudah banyak dikupas) maka berikut ini saya publikuj artikel dari Gainscope tentang FATWA MUI TENTANG TRADING FOREX. Di luar sana berkembang juga pendapat yang bersebarangan dengan fatwa MUI ini di mana mereka tetap berpendirian pada bahwa trading forex adalah HARAM dengan hujjahargumen yang mereka pegangi. Keputusan berpulang pada dan ada di tangan Anda. Selamat membaca. Fatwa MUI Tentang Jual Beli Mata Uang (AL-SHARF) Pertanyaan yang pasti ditanyakan olejek z Indonezji: 1. Apakah Trading Forex Haram 2. Apakah Trading Forex Halal 3. Apakah Trading Forex Diperbolehkan dalam Agama Islam 4. Apakah SWAP itu Mari kita bahas dengan artikel yang pertama: Forex Dalam Hukum Islam Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAŻ FIQHIYAH Kapita Selecta Hukum Islam, bahipoetics Forex (Perdagangan Valas) diperbolehkan dalam hukum islam. Perdagangan valuta asing timbol karena adanya perdagangan barang-barang kebutuhankomoditi antar negara yang bersifat internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat bayar yaitu UANG yang masing masaże negara mempunyai ketentuan sentiri i berbeda satu sama lainnya sesuai dengan penawaran i permintaan diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA UANG antar negara. NaleŜy uwaŜać, Ŝe w porę roku nie ma miejsca zamieszkania. BURSA atau PASAR yang bersifat internasional daltam suatu kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang negara dengan negara lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat sesuai tom permintaan dan penawarannya. Adanya permintaan and penawaran inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang sekretarz nyata hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai. HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAS 1. Ada Ijab-Qobul. --- ada perjanjian untuk memberi menerima Penny menyerahkan barang i pembeli membayar tunai. Ijab-Qobulnya dilakukan dengan lisan, tulisan dan utusan. Pembeli dan penjual mempunyai wewenang pensh melaksanakan dan melakukan tindakantindakan hukum (dewasa i berpikiran sehat) 2. Meczet syarat menjadi obejek transaksi julės: Suci barangnya (bukan najis) Dapat dimanfaatkan Dapat diserahterimakan Dżentelmena Dżemy (dibeli) oleje pemiliknya sendiri atau kuasanya atas izin pemiliknya Barang sudah berada ditangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan. Perlu ditambahkan pendapat Muhammad Isa, bahwa jual beli saham itu diperbolehkan dalam agama. Jangan kamu membeli ikan dalam air, karena sesungguhnya jual beli jang demikian itu mengandung penipuan. (Hadis Ahmad bin Hambal i Al Baihaqi i Ibnu Masud) Jual beli barang yang tidak di tempat transaksi diperbolehkan dengan syarat haru diterangkan sifatsifatnya atau ciri-cirinya. Kemudian jika barang sesuai dengan keterangan penjual, maka sahlah jual belinya. Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunyai hak whenyar, artinya boleh meneruskan atau membatalkan jual belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah: 8220Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika ia telah melihatnya. Jual beli hasil tanam yang masih terpendam, seperti ketela, kentang, bawangi sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena akan mengalami kaukazu kaukazu jika haru mengeluarkan semua hasil tanaman yang terpendam untuk dijual. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam: 8220Kesulitan itu menarik kemudahan.8221 Demikian juga jual beli barang-barang yang telah terbungkustertutup, seperti makanan kalengan, LPG, dan sebagainya, asalkam diberi label yang menerangkan isinya. Vide Sabiq, op. cit. hal. 135. Mengenai teks kaidah hukum islam tersebut di atas, vide Al Suyuthi, Al Ashbah wa alairair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 hal. 55. JUAL BELI VALUTA ASING DAN SAHAM Władza malejąca dennis valuta as adalah mata uang luar negeri seperi dolar Amerika, walczący Inggris, ringgit Malezja i Sebaski. Apabila antara negara terjadi perdagangan internasional maka tiap negara membutuhkan waluta asing untuk alat bayar luar negeri yang dalam dunia perdagangan disebut devisa. Misalnya eksportir Indonezja akan memperoleh devisa dari hasil ekspornya, sebaliknya importir Indonezja memerlukan devisa untuk mengimpor dari luar negeri. Dengan demikian akan timbul penalaran i perminataan di bursa valuta asing. setiap negara berwenang penuh menetapkan kurs uangnya masing-masing (kurs adalah perbandingan nilai uangnya terhadap mata uang asing) misalnya 1 dolar Amerika Rp. 12.000. Klawisze Namun kursy ukończone w pakiecie nilai tukar setiap saat bisa berubah-ubah, tergantung pada kekuatan ekonomi negara masing-masing. Pencatatan kurs uang i transaksi jual beli valuta asing diselenggarakan di Bursa Valuta Asing (AWJ Tupanno, i in. Ekonomi i Koperasi, Jakarta, Depdikbud 1982, hal 76-77) FATWA MUI TENTANG PERDAGANGAN VALAS Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonezja Nie: 28DSN-MUIIII2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf) a. Bahwa dalam sejumlah kegiatan untuk memenuhi berbagai keperluan, sergekali diperlukan transaksi jual-beli mata uang (al-sharf), baik antar mata uhui saunun antar mata uang berlainan jenis. b. Bahwa dalam urf Zgłoś uwagę lub komentarz do hasła tijari (tradisi perdagangan) transaksi jual beli mata ż dikenal beberapa ż Zgłoś uwagę lub komentarz do hasła transaksi yang status hukumnya dalam pandangan ajaran Islam berbeda ż antara satu bentuk dengan bentuk lain. do. Bahwa agar kegiatan transaksi tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran islam, DSN pamięta perkaminę fatwa tentang al-Szarf nieprzyjaciela pedoman. 1. Firman Allah, QS. Al-Baqarah2: 275:. Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. 2. Hadis nabi riwayat al-Baihaqi i Ibnu Majah dari Abu Said al-Khudri: Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya jual beli itu hanya boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak) (HR albaihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban). 3. Hadis Nabi Riwayat muzułmanin, Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibn Majah, dengan teks muzułmanin dari Ubadah bin Shamit, Nabi widział bersabda: (Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, syair dengan syair, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sam pan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai .. 4. Hadis Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad, Dari Umar bin Khattab, Nabi widział bersabda: (Jual-beli) emas dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai. 5. Hadis Nabi riwayat muzułmanin z Abu Said al-Khudri, Nabi widział bersabda: Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) i janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) i janganlah menambahkan sebagaian atas sebagian yang lain dan janganlah menjali emas i perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai. 6. Hadis Nabi riwayat muzułmanin z Bara bin Azib i Zaid bin Arqam. Rasulullah zobaczył melarang menjual perak dengan emas sekarę piutang (tidak tunai). 7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf: Perjanjian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dan kaum muslimin teratur dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. 8. Ijma. Ulama sepakat (ijma) bahwa akad al-sharf disyariatkan dengan syarat-syarat tertentu 1. Surat dari pimpinah Jednostka Usaha Syariah Bank BNI nr. UUS2878 2. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional pada Hari Kamis, Tanggal 14 Muharram 1423H 28 Maret 2002. Dewan Syariah Nasional Menetapkan. FATWA TENTANG JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF). Pertama. Ketentuan Umum Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan). 2. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan). 3. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama i secara tunai (at-taqabudh). 4. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi i secara tunai. Kedua. Jenis-jenis transaksi Valuta Asing 1. Transaksi SPOT, yaitu transaksi pembelian i penjualan valuta asing nieprzyjaciel pada saat itu (przez licznik) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunika, sedangkan watku dui hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bis dihindari i merupakan transaksi internasional. 2. Transaksi FORWARD, yaitu transaksi pembelian i penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang i diberlakukan untuk waktu yang akang datang, antara 2x24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwaadah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu saman dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward porozumienie untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah) 3. Transaksi SWAP yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga naprzód. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). 4. Transaksi OPCJA yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit waluta asing pada harga jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi). Ketiga. Fatwa ini berlaku sejg tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah i disempurnakan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di. Dżakarta Tanggal. 14 Muharram 1423 H 28 Maret 2002 M DEWAN SYARIAH NASIONAL - MAJELIS ULAMA INDONESIA Tulisan lain yang menguatkan adalah sebagaimana ditulis oleh Mohammed Obaidullah di bawah ini tentang ISLAMIC FOREX TRADING. 1. Podstawowe umowy giełdowe Istnieje powszechny konsensus wśród islamskich jurystów, którzy oceniają, że waluty różnych krajów mogą być wymieniane na miejscu w tempie różnym od jedności, ponieważ waluty różnych krajów są odrębnymi jednostkami o różnych wartościach lub wewnętrznych wartościach , i siły nabywczej. Wydaje się, że większość z nich jest ogólnie zgodna z poglądem, że wymiana walutowa na zasadzie forward jest niedopuszczalna, tzn. Gdy prawa i obowiązki obu stron odnoszą się do przyszłej daty. Jednakże istnieje znaczna różnica opinii wśród prawników, gdy prawa jednej ze stron, co jest identyczne z obowiązkiem kontrahenta, są odroczone do przyszłej daty. Rozważmy rozważmy przykład dwóch osób A i B należących do dwóch różnych krajów, odpowiednio Indii i Stanów Zjednoczonych. Zamierza sprzedać rupie indyjskie i kupić dolary amerykańskie. Konwersja jest prawdziwa dla B. Rupia-dolar kurs wymiany uzgodniony jest 1:20, a transakcja obejmuje zakup i sprzedaż 50. Pierwszą sytuacją jest to, że A dokonuje płatności punktowej w wysokości 1000 Rs do B i przyjmuje zapłatę 50 od B Transakcja rozliczana jest na podstawie spotu z obu stron. Takie transakcje są ważne i islamicznie dopuszczalne. Nie ma dwóch opinii na ten temat. Drugą możliwością jest to, że rozliczenie transakcji z obu stron jest odroczone do przyszłej daty, powiedzmy po sześciu miesiącach od tej chwili. Oznacza to, że zarówno A, jak i B będą musiały zapłacić 1000 Rs lub 50, w zależności od przypadku, po sześciu miesiącach. Dominującym poglądem jest to, że taka umowa nie jest zgodna z islamem. Opinia mniejszości uważa ją za dopuszczalną. Trzecim scenariuszem jest to, że transakcja jest częściowo rozliczana tylko z jednego końca. Przykładowo, A dokonuje płatności w wysokości 1000 Rs za B zamiast obietnicy B, aby zapłacić mu 50 po sześciu miesiącach. Alternatywnie, A akceptuje 50 teraz od B i zapowiada zapłacenie R 1000 za niego po sześciu miesiącach. Są diametralnie przeciwstawne poglądy na dopuszczalność takich umów, które stanowią bai-salam w walutach. Celem niniejszego artykułu jest przedstawienie kompleksowej analizy różnych argumentów popierających i sprzeciwiających się dopuszczalności tych podstawowych umów dotyczących walut. Pierwsza forma zawierania kontraktów na wymianę waluty na miejscu jest poza wszelkimi kontrowersjami. Dopuszczalność lub inny rodzaj drugiego rodzaju kontraktu, w którym przekazanie jednej z walorów odroczono do przyszłej daty, jest ogólnie omawiane w ramach zakazu riba. W związku z tym szczegółowo omawiamy niniejszą umowę w sekcji 2 dotyczącej kwestii zakazu riba. Dopuszczenie trzeciej formy kontraktu, w którym odroczenie odliczeń kontrwywiadu jest odkładane, jest ogólnie omawiane w ramach zmniejszenia ryzyka, niepewności lub gharar uczestniczących w takich umowach. Jest to zatem główny temat rozdziału 3, który zajmuje się kwestią gharara. Sekcja 4 próbuje całościowego spojrzenia na szariat odnoszący się do kwestii, a także znaczenie ekonomiczne podstawowych form zawierania kontraktów na rynku walutowym. 2. Zagadnienie zakazu Riba Rozbieżności poglądów1 dotyczące dopuszczalności lub w inny sposób umów walutowych w walutach można wywnioskować przede wszystkim z zakazu riba. Najważniejsza jest konieczność wyeliminowania riba we wszystkich formach umów o wymianie walut. Riba w kontekście szariatu jest ogólnie zdefiniowana2 jako bezprawny zysk wynikający z ilościowej nierówności kontrastów w jakiejkolwiek transakcji, która ma skutkować wymianą dwóch lub więcej gatunków (anwa) należących do tego samego rodzaju (jins) i podlega ta sama sprawność (illa). Riba jest zazwyczaj klasyfikowana jako riba al-fadl (nadmiar) i riba al-nasia (odroczenie), które oznaczają niezgodną z prawem korzyść w drodze nadwyżki lub odroczenia. Zakaz pierwszego z nich został osiągnięty przez zastrzeżenie, że kurs wymiany między przedmiotami jest jednością i żadna ze stron nie może osiągnąć zysków. Ten ostatni rodzaj riba jest zabroniony przez niedozwolone odroczenie rozliczeń i zapewnienie, że transakcja jest rozliczana na miejscu przez obie strony. Inna forma riba nazywa się riba al-jahiliyya lub przedmiesięcznym riba, które pojawia się, gdy pożyczkodawca prosi kredytobiorcę o terminie zapadalności, jeśli ten ostatni ureguluje zadłużenie lub zwiększy to samo. Wzrostowi towarzyszy pobieranie odsetek od kwoty pożyczonej początkowo. Zakaz riba wymiany walut należących do różnych krajów wymaga procesu analogicznego (qiyas). W każdym takim ćwiczeniu obejmującym analogię (qiyas) skuteczna sprawa (illa) odgrywa niezwykle ważną rolę. Jest to wspólna skuteczna przyczyna (illa), która łączy przedmiot analogii z jej podmiotem, w ramach analogicznego rozumowania. Odpowiednia skuteczna przyczyna (illa) w przypadku umów walutowych została różnie określona przez główne szkoły Fiqh. Różnica ta znajduje odzwierciedlenie w analogicznym rozumieniu walut papierowych należących do różnych krajów. Kwestia istotnego znaczenia w procesie analogicznego rozumowania dotyczy porównania walut papierowych z złoto i srebrem. W pierwszych dniach islamu, złoto i srebro spełniały wszystkie funkcje pieniądza (thaman). Waluty były wykonane ze złota i srebra o znanej wewnętrznej wartości (zawierającej kwant złota lub srebra). Takie waluty są opisane jako thaman haqiqi, lub naqdain w fiqh literatury. Były powszechnie akceptowane jako główne środki wymiany, co stanowi znaczny pakiet transakcji. Wiele innych towarów, takich jak różne gorsze metale, służyło także jako środek wymiany, ale z ograniczoną akceptowalnością. Są one opisane jako fals w fiqh literatury. Są to również znane jako thaman istalahi ze względu na fakt, że ich akceptowalność nie wynika z ich wewnętrznej wartości, ale ze względu na status przyznany przez społeczeństwo w danym okresie. Powyższe dwa rodzaje walut były traktowane w bardzo różny sposób przez wczesnych islamskich prawników z punktu widzenia dopuszczalności zawieranych z nimi umów. Kwestią, która musi zostać rozwiązana, jest to, czy obecne waluty papierów wiekowych należą do poprzedniej kategorii czy drugiej. Jednym z nich jest to, że należy traktować je równomiernie z thaman haqiqi lub złoto i srebro, ponieważ służą one jako główny środek wymiany i jednostkę rozliczeniową, jak ten ostatni. W związku z tym, w drodze analogicznego rozumowania, wszystkie normy i zarządzenia związane z szariatem mające zastosowanie do thaman haqiqi powinny mieć również zastosowanie do waluty papierowej. Wymiana żongan haqiqi jest znana jako bai-sarf, a zatem transakcje w walutach papierowych powinny podlegać regułom szariatu właściwym dla bai-sarf. W przeciwieństwie do poglądów stwierdza się, że waluty papierowe powinny być traktowane w sposób podobny do fals lub thaman istalahi ze względu na fakt, że ich wartość nominalna różni się od ich wewnętrznej wartości. Ich akceptowalność wynika z ich statusu prawnego w kraju lub znaczeniu gospodarczym na świecie (np. W przypadku dolara amerykańskiego). 2.1. Synteza poglądów alternatywnych 2.1.1. Analogiczny rozsądek (Qiyas) dla Riba Zakaz Riba opiera się na tradycji, że święty prorok (spokój na nim) powiedział: "Sprzedaj złoto za złoto, srebro na srebro, pszenicę na pszenicę, jęczmień na jęczmień, datę na datę, sól do soli, w takich samych ilościach na miejscu, a gdy towar różni się od siebie, sprzedaj, jak Ci się podoba, ale na miejscu. Zatem zakaz riba dotyczy przede wszystkim dwóch metali szlachetnych (złoto i srebro) oraz czterech innych towarów (pszenicy, jęczmienia, dat i soli). Dotyczy to także analogii (qiyas) do wszystkich gatunków, które podlegają tej samej skutecznej przyczynie (illa) lub należą do któregokolwiek z rodzajów wymienionych sześciu obiektów wymienionych w tradycji. Nie ma jednak ogólnej zgody pomiędzy różnymi szkołami Fiqha, a nawet uczonych należących do tej samej szkoły w zakresie określania i identyfikowania spraw skutecznych (illa) riba. W przypadku Hanafis skuteczna przyczyna (illa) riba ma dwa wymiary: wymieniane artykuły należą do tego samego rodzaju (jins), które mają ciężar (wazan) lub mierzalność (kiliyya). Jeśli w danej dacie występują zarówno elementy efektywnej przyczyny (ila), tzn. Wymieniane wartości przeciwstawne należą do tego samego rodzaju (jins) i wszystkie są ważone lub wszystkie mierzalne, to nie można dopuścić żadnego zysku (kurs wymiany musi być jednością), a wymiana musi być przeprowadzona na miejscu. W przypadku złota i srebra, dwa elementy skutecznej przyczyny (illa) to: jedność rodzaju (jins) i ważenie. Jest to również widok Hanbali według jednej wersji3. (Inna wersja jest podobna do widoku Shafii i Maliki, jak omówiono poniżej). W związku z tym, kiedy złoto jest wymieniane na złoto lub srebro jest wymieniane na srebro, dopuszczalne są tylko transakcje spotowe bez zysku. Możliwe jest także, że w danej dacie występuje jeden z dwóch elementów skutecznej sprawy (illa), a drugi nieobecny. Na przykład, jeśli wymieniane artykuły są ważone lub wymierne, ale należą do innego rodzaju (jins) lub, jeśli wymieniane artykuły należą do tego samego rodzaju (jins), ale nie są ważone ani mierzalne, wymiana z zyskiem (w tempie innym niż jedność) jest dopuszczalna, ale wymiana musi być na miejscu. Tak więc, gdy złoto jest wymieniane na srebro, stawka może różnić się od jedności, ale nie jest dopuszczalne odroczenie rozliczeń. Jeśli żaden z dwóch elementów skutecznej sprawy (illa) riba nie jest obecny w danej dacie, wówczas nie ma zastosowania żaden z nakazów zakazu riba. Wymiana może odbywać się z zyskiem lub bez, zarówno na miejscu, jak i na odroczeniu. Biorąc pod uwagę wymianę walut papierowych należących do różnych krajów, zakaz riba wymagałby szukać skutecznej przyczyny (illa). Waluty należące do różnych krajów są wyraźnie odrębnymi podmiotami, które są prawnym środkiem płatniczym w określonych granicach geograficznych o różnej wewnętrznej wartości lub siły nabywczej. Stąd większość naukowców słusznie twierdzi, że nie ma jedności rodzaju (jins). Dodatkowo nie są one ani ważone, ani mierzalne. Prowadzi to do bezpośredniego wniosku, że w takiej wymianie nie ma żadnego z elementów sprawności (illa) riba. W związku z tym wymiana może odbywać się bez jakichkolwiek nakazów dotyczących kursu wymiany i sposobu rozliczania. Logika leżąca u podstaw tej pozycji nie jest trudna do zrozumienia. Własne waluty papierowe należące do różnych krajów różnią się, ponieważ mają inną siłę nabywczą. Ponadto wartość wewnętrzna lub wartość papierowych walut nie mogą być zidentyfikowane ani oceniane w odróżnieniu od złota i srebra, które można ważyć. W związku z tym nie można ustalić obecności riba al-fadl (przez nadmiar), ani riba al-nasia (przez odroczenie). Szkoła Shafii w Fiqh uważa, że ​​sprawa sprawna (illa) w przypadku złota i srebra jest ich własnością z powodu waluty (thamaniyya) lub medium wymiany, jednostki rozliczeniowej i magazynu wartości. Jest to także widok Maliki. Zgodnie z jedną wersją tego poglądu, nawet jeśli papier lub skóra jest środkiem wymiany i ma status waluty, to wszystkie zasady odnoszące się do naqdain lub złota i srebra odnoszą się do nich. Tak więc zgodnie z tą wersją dopuszczalna jest wymiana walut z różnych krajów w tempie innym niż jedność, ale musi być rozliczona na miejscu. Inną wersją powyższych dwóch szkół myślenia jest to, że wymieniona wyżej skuteczna przyczyna (illa) bycia walutą (thamaniyya) jest specyficzna dla złota i srebra i nie może być uogólniona. Oznacza to, że inny obiekt, jeśli jest używany jako środek wymiany, nie może zostać uwzględniony w swojej kategorii. W związku z tym, zgodnie z tą wersją, nakaz aresztowania w Sharia dla zakazu riba nie ma zastosowania do walut papierowych. Waluty należące do różnych krajów mogą być wymieniane z zyskiem lub bez, zarówno na miejscu, jak i na odroczonej podstawie. Przedstawiciele wcześniejszej wersji powołują się na przypadek wymiany walut papierowych należących do tego samego kraju w obronie ich wersji. Opinia konsensusu prawników w tym przypadku polega na tym, że wymiana taka musi być bez zysku lub w wysokości równej jedności i musi być rozliczona na miejscu. Jaki jest powód uzasadnienia powyższej decyzji Jeśli weźmiemy pod uwagę Hanafi i pierwszą wersję pozycji Hanbali, wówczas w tym przypadku jest tylko jeden wymiar skutecznej przyczyny (illa), czyli należą do tego samego rodzaju (jins ). Ale waluty papierowe nie są ani ważone, ani mierzalne. W związku z tym prawo Hanafiego najwyraźniej umożliwiłoby wymianę różnych wielkości tej samej waluty na miejscu. Podobnie, jeśli skuteczna przyczyna bycia walutą (thamaniyya) jest specyficzna tylko dla złota i srebra, prawo Shafiego i Maliki również pozwoliłoby na to samo. Nie trzeba dodawać, że to pozwala na zaciąganie pożyczek i udzielanie pożyczek z riba. Pokazuje to, że jest to pierwsza wersja myśli Shafii i Maliki, która leży u podstaw decyzji o zakazie zysków i odroczonego rozstrzygnięcia w przypadku wymiany walut należących do tego samego kraju. Według zwolenników, rozszerzenie tej logiki na wymianę walut różnych krajów oznaczałoby, że wymiana z zyskiem lub w tempie różnym od jedności jest dozwolona (ponieważ nie ma jedności jins), ale rozliczenie musi być na miejscu. 2.1.2 Porównanie wymiany walut z Bai-Sarf Bai-sarf jest zdefiniowane w fiqh literaturze jako wymiana z udziałem thaman haqiqi, określona jako złoto i srebro, która służyła za główny środek wymiany dla prawie wszystkich najważniejszych transakcji. Twierdzą, że każda wymiana walut różnych krajów jest taka sama, jak bai-sarf twierdzą, że w obecnym wieku papierowe waluty skutecznie i całkowicie zastąpiły złoto i srebro jako środek wymiany. Zatem, analogicznie, wymianę takich walut należy regulować tymi samymi zasadami szariatu i nakazami, co bai-sarf. Argumentuje się również, że jeśli dozwolone jest rozstrzyganie sporów przez obie strony umowy, otworzy to możliwości riba-al nasia. Przeciwnicy kategoryzacji wymiany waluty z bai-sarf wskazują jednak, że wymianę wszystkich form waluty (thaman) nie można nazwać bai-sarf. Zgodnie z tym poglądem bai-sarf oznacza wymianę walut na złoto i srebro (thaman haqiqi lub naqdain), a nie pieniędzy wymawianych jako takie przez organy państwowe (thaman istalahi). Obecne waluty wieku są przykładami tego ostatniego rodzaju. Ci uczeni poszukują poparcia w tych pismach, które twierdzą, że jeśli towary wymiany nie są złote lub srebrne, (nawet jeśli jedno z nich to złoto lub srebro), wymiana nie może być określana jako bai-sarf. Również postanowienia dotyczące bai-sarf nie miałyby zastosowania do takiej wymiany. Według Imam Sarakhsi4, gdy indywidualne zakupy fałszów lub monet wykonanych z gorszych metali, takich jak miedź (thaman istalahi) na dirhamy (thaman haqiqi) i dokonują płatności na miejscu tego ostatniego, ale sprzedający nie ma w tej chwili fals , wówczas taka wymiana jest dopuszczalna. przejmowanie towarów wymienianych przez obie strony nie jest warunkiem wstępnym (w przypadku bai-sarf jest). Istnieje szereg podobnych wskazań, które wskazują, że prawnicy nie klasyfikują wymiany fals (thaman istalahi) na inne fals ( thaman istalahi) lub złoto lub srebro (thaman haqiqi), jako bai-sarf. W związku z tym wymiana walut dwóch różnych krajów, które mogą kwalifikować się jedynie jako thaman istalahi, nie może być zakwalifikowana jako bai-sarf. Nie można też nałożyć na takie transakcje jakichkolwiek ograniczeń dotyczących rozliczania lokalnego. Należy tu zauważyć, że definicja bai-sarf jest dostarczana literaturze Fiqh i nie ma wzmianki o tym samym w świętej tradycji. Tradycje mówią o riba, a sprzedaż i zakup złota i srebra (naqdain), które mogą być głównym źródłem riba, jest opisane jako bai-sarf przez islamskich jurists. Należy również zauważyć, że w literaturze Fiqh bai-sarf oznacza wymianę złota lub srebra jedynie na to, czy są one obecnie używane jako środek wymiany czy też nie. Wymiana z udziałem dinarów i złotych ozdób, zarówno jakości jak bai-sarf. Wielu prawników starało się wyjaśnić ten punkt i określiło sarf jako wymianę, w której wymieniane towary są w naturze thaman, niekoniecznie same w sobie. Dlatego też, nawet jeśli jeden z surowców jest przetwarzany w złoto (np. Ozdoby), taka wymiana nazywa się bai-sarf. Twierdzy, że wymiana waluty powinna być traktowana w sposób podobny do bai-sarf, również uzyskają poparcie od pism wybitnych islamskich prawników. Według Imam Ibn Taimiya, wszystko, co pełni funkcję medium wymiany, jednostki rozliczeniowej i magazynu wartości nazywa się thaman, (niekoniecznie ograniczone do srebra ze srebra). Podobne referencje są dostępne w pismach Imam Ghazzali5 Jeśli chodzi o poglądy Imam Sarakhshi dotyczące wymiany z udziałem fals, należy przy tym uwzględnić kilka dodatkowych punktów. We wczesnych czasach Islamu dinozaury i dirhamy wykonane ze złota i srebra były używane głównie jako środek wymiany we wszystkich głównych transakcjach. Tylko drobne osiedlone były z fals. Innymi słowy, fals nie miał cech charakterystycznych pieniędzy lub thamaniyya w całości i był mało używany jako magazyn wartości lub jednostki rozliczeniowej i był bardziej w charakterze towaru. W związku z tym nie było żadnych ograniczeń na zakup tego samego złota i srebra na odroczonej podstawie. Współczesne waluty mają wszystkie cechy thamana i mają być tylko thamanem. Wymiana walut z różnych krajów jest taka sama, jak bai-sarf z różnicami jins, a tym samym odroczone rozliczenie doprowadziłoby do riba al-nasia. Dr Mohamed Nejatullah Siddiqui ilustruje tę możliwość za pomocą przykładu6. Pisze w określonym momencie czasu, kiedy kurs rynkowy wymiany między dolarem a rupia wynosi 1:20, jeśli indywidualne zakupy 50 w wysokości 1:22 (rozliczenie jego zobowiązania w rupiach odroczone do przyszłej daty), to wtedy jest bardzo prawdopodobne, że jest. w rzeczywistości, pożyczając Rs. 1000 zamiast obietnicy spłacenia Rs. 1100 w określonym terminie późniejszym. (Od tego czasu może uzyskać 1000 Rs, wymieniając 50 zakupionych na kredyt w tempie spot) W ten sposób sarf można przekształcić w oprocentowane kredyty pożyczkowe. 2.1.3 Definiowanie Thamaniyya jest kluczem Wydaje się z powyższej syntezy alternatywnych poglądów, że kluczowym zagadnieniem wydaje się być poprawną definicją thamaniyya. Na przykład fundamentalne pytanie, które prowadzi do rozbieżnych stanowisk odnośnie dopuszczalności, odnosi się do tego, czy thamaniyya jest specyficzna dla złota i srebra, czy też może być związana z czymkolwiek, co pełni funkcję pieniądza. Podejmujemy niektóre kwestie poniżej, które mogą być wzięte pod uwagę przy każdym ponownym rozpatrzeniu alternatywnych stanowisk. Należy zauważyć, że thamaniyya nie może być absolutna i może się różnić w stopniach. Prawdą jest, że papierowe waluty całkowicie zastąpiły złoto i srebro jako środek wymiany, jednostkę rozliczeniową i magazyn. W tym znaczeniu można powiedzieć, że waluty papierowe mają thamaniyya. Dotyczy to wyłącznie walut krajowych i może nie być prawdą dla walut obcych. Innymi słowy, indyjskie rupie mają thamaniyya tylko w granicach geograficznych Indii i nie mają żadnej akceptowalności w USA. Tego nie można powiedzieć, że posiadają thamaniyya w USA, chyba że obywatel USA może użyć rupii indyjskich jako środka wymiany, jednostki rozliczeniowej lub sklepu wartości. W większości przypadków taka możliwość jest zdalna. Ta możliwość jest również funkcją mechanizmu kursu walutowego, takiego jak wymienialność rupii indyjskich w dolary amerykańskie oraz czy istnieje stały lub zmienny system kursów walutowych. Na przykład zakładając swobodną konwersję indyjskich rupii na dolary amerykańskie i na odwrót, a także system stałego kursu walutowego, w którym spodziewany jest wzrost kursu rupii-dolar w najbliższej przyszłości, w Indiach znacznie wzrosła wartość referencyjna rupii w USA . Przykład podany przez dr Nejatullaha Siddiqui wydaje się również dość solidny w danych okolicznościach. Uprawnienie do wymiany rupii na dolary na zasadzie odroczonej (z jednego końca oczywiście) w tempie innym niż kurs spot (oficjalna stopa, która prawdopodobnie pozostanie ustalona do dnia rozliczenia) byłoby wyraźnym przypadkiem oprocentowania pożyczek i kredytów. Jednakże, jeśli założenie stałego kursu walutowego jest złagodzone i zakłada się, że obecny system wahań i zmienności kursów ma miejsce, można wykazać, że przypadek riba al-nasia ulegnie awarii. Przepisujemy jego przykład: w danym momencie w momencie, gdy kurs rynkowy wymiany między dolarem a rupia wynosi 1:20, jeśli indywidualne zakupy 50 w wysokości 1:22 (rozliczenie jego zobowiązania w rupiach odroczone do przyszłej daty ), to jest bardzo prawdopodobne, że jest. w rzeczywistości, pożyczając Rs. 1000 zamiast obietnicy spłacenia Rs. 1100 w określonym terminie późniejszym. (Od tego czasu może uzyskać 1000 Rs, wymieniając 50 zakupionych na kredyt w tempie spot) Byłoby tak, tylko wtedy, gdy ryzyko walutowe nie istnieje (kurs wymiany pozostaje na poziomie 1:20) lub ponosi sprzedający dolarów (odkupu kupującego w rupiach, a nie w dolarach). Jeśli pierwszy z nich jest prawdziwy, sprzedawca dolarów (pożyczkodawcy) otrzymuje z góry ustaloną stopę zwrotu dziesięciu procent, gdy przelicza Rs1100 otrzymane w dniu zapadalności na 55 (po kursie 1:20). Jeśli jednak ten ostatni jest prawdziwy, to zwrot z powrotem do sprzedawcy (lub pożyczkodawcy) nie jest z góry ustalony. Nie musi być nawet pozytywne. Na przykład, jeśli kurs rupii-dolara wzrośnie do 1:25, sprzedający dolar otrzyma tylko 44 (Rs 1100 przeliczone na dolary) na inwestycję w wysokości 50. Warto wspomnieć o dwóch punktach. Po pierwsze, kiedy zakłada się system stałych kursów walutowych, rozbieżność między walutami różnych krajów ulega rozczuleniu. Sytuacja staje się podobna do wymiany funtów ze sterylną (walutami należącymi do tego samego kraju) w stałym tempie. Po drugie, gdy przyjmiemy system zmienności kursów walutowych, to jak można sobie wyobrazić pożyczanie za pośrednictwem rynku walutowego (mechanizm sugerowany w powyższym przykładzie), można też wizualizować pożyczanie za pośrednictwem dowolnego innego zorganizowanego rynku (np. Dla towarów lub zapasów .) Jeśli ktoś zastąpi dolary na akcje w powyższym przykładzie, będzie to oznaczać: W danym momencie w momencie, gdy cena rynkowa akcji X wynosi Rs 20, jeśli indywidualne zakupy 50 sztuk według stawki Rs 22 (rozliczenie jego obowiązek w rupiach odroczony do przyszłej daty), to jest bardzo prawdopodobne, że jest. w rzeczywistości, pożyczając Rs. 1000 zamiast obietnicy spłacenia Rs. 1100 w określonym terminie późniejszym. (Ponieważ może teraz uzyskać rocznie 1000 Rs, wymieniając 50 zapasów zakupionych na kredyt w obecnej cenie) W tym przypadku także, jak w poprzednim przykładzie, zwroty do sprzedawcy mogą być ujemne, jeśli cena akcji wzrośnie do 25 Rs w rozliczeniu data. Zatem, podobnie jak zwroty na giełdzie lub na rynku towarowym są akceptowalne w sposób islamiczny ze względu na ryzyko cenowe, a więc są to zwroty na rynku walutowym z powodu wahań cen walut. Unikalną cechą thaman haqiqi lub złota i srebra jest to, że wewnętrzna wartość waluty jest równa wartości nominalnej. Tak więc kwestia różnych granic geograficznych, w obrębie których dana waluta, jak dinar lub dirham krąży, jest całkowicie bez znaczenia. Złoto jest złoto, czy w kraju A czy kraju B. Tak więc, gdy waluta kraju A z złota jest wymieniana na walutę kraju B, również ze złota, a następnie odchylenie kursu wymiany od jedności lub odroczenie rozliczenia przez którąkolwiek ze stron nie może być dozwolony, ponieważ wyraźnie oznaczałoby to riba al-fadl, a także riba al-nasia. Jednakże, gdy waluty papierowe kraju A są wymieniane na papierową walutę kraju B, sprawa może być zupełnie inna. Ryzyko cenowe (ryzyko kursowe), jeśli jest dodatnie, wyeliminowałoby wszelkie możliwości riba al-nasia w zamian z odroczonym rozliczeniem. Jeśli jednak ryzyko cenowe (ryzyko kursu walutowego) wynosi zero, taka wymiana może być źródłem riba al-nasia, jeśli dozwolone jest rozliczanie odroczone7. Kolejnym punktem, który zasługuje na poważną uwagę, jest możliwość, że niektóre waluty mogą posiadać atlanta, czyli jako środek wymiany, jednostkę rozliczeniową lub magazyn o wartości na całym świecie w kraju krajowym i zagranicznym. Na przykład dolar jest prawnym środkiem płatniczym w Stanach Zjednoczonych, jest również dopuszczalny jako środek wymiany lub jednostka rozliczeniowa dla dużej liczby transakcji na całym świecie. Zatem ta konkretna waluta może być nazwana thamanianą na całym świecie, w takim przypadku prawnicy mogą nakładać stosowne nakaz aresztowania na wymianach dotyczących tej konkretnej waluty, aby zapobiec riba al-nasia. Faktem jest, że gdy waluta posiada angażując się na całym świecie, jednostki gospodarcze wykorzystujące tę globalną walutę jako środek wymiany, jednostka rozliczeniowa lub składowa wartości nie mogą być zaniepokojone ryzykiem wynikającym z niestabilności kursów wymiany między krajami. Jednocześnie należy zauważyć, że duża większość walut nie pełni funkcji pieniądza, z wyjątkiem granic wewnętrznych, jeżeli są to środki prawne. Riba i ryzyko nie mogą współistnieć w tym samym kontrakcie. Pierwszy zakłada możliwość zwrotu z zerowym ryzykiem i nie może zostać zarobiony przez rynek z pozytywnym ryzykiem cenowym. As has been discussed above, the possibility of riba al-fadl or riba al-nasia may arise in exchange when gold or silver function as thaman or when the exchange involves paper currencies belonging to the same country or when the exchange involves currencies of different countries following a fixed exchange rate system. The last possibility is perhaps unIslamic8 since price or exchange rate of currencies should be allowed to fluctuate freely in line with changes in demand and supply and also because prices should reflect the intrinsic worth or purchasing power of currencies. The foreign currency markets of today are characterised by volatile exchange rates. The gains or losses made on any transaction in currencies of different countries, are justified by the risk borne by the parties to the contract. 2.1.4. Possibility of Riba with Futures and Forwards So far, we have discussed views on the permissibility of bai salam in currencies, that is, when the obligation of only one of the parties to the exchange is deferred. What are the views of scholars on deferment of obligations of both parties. Typical example of such contracts are forwards and futures9. According to a large majority of scholars, this is not permissible on various grounds, the most important being the element of risk and uncertainty (gharar) and the possibility of speculation of a kind which is not permissible. This is discussed in section 3. However, another ground for rejecting such contracts may be riba prohibition. In the preceding paragraph we have discussed that bai salam in currencies with fluctuating exchange rates can not be used to earn riba because of the presence of currency risk. It is possible to demonstrate that currency risk can be hedged or reduced to zero with another forward contract transacted simultaneously. And once risk is eliminated, the gain clearly would be riba. We modify and rewrite the same example: In a given moment in time when the market rate of exchange between dollar and rupee is 1:20, an individual purchases 50 at the rate of 1:22 (settlement of his obligation in rupees deferred to a future date), and the seller of dollars also hedges his position by entering into a forward contract to sell Rs1100 to be received on the future date at a rate of 1:20, then it is highly probable that he is. in fact, borrowing Rs. 1000 now in lieu of a promise to repay Rs. 1100 on a specified later date. (Since, he can obtain Rs 1000 now, exchanging the 50 dollars purchased on credit at spot rate) The seller of the dollars (lender) receives a predetermined return of ten percent when he converts Rs1100 received on the maturity date into 55 dollars (at an exchange rate of 1:20) for his investment of 50 dollars irrespective of the market rate of exchange prevailing on the date of maturity. Another simple possible way to earn riba may even involve a spot transaction and a simultaneous forward transaction. For example, the individual in the above example purchases 50 on a spot basis at the rate of 1:20 and simultaneously enters into a forward contract with the same party to sell 50 at the rate of 1:21 after one month. In effect this implies that he is lending Rs1000 now to the seller of dollars for one month and earns an interest of Rs50 (he receives Rs1050 after one month. This is a typical buy-back or repo (repurchase) transaction so common in conventional banking.10 3. The Issue of Freedom from Gharar 3.1 Defining Gharar Gharar, unlike riba, does not have a consensus definition. In broad terms, it connotes risk and uncertainty. It is useful to view gharar as a continuum of risk and uncertainty wherein the extreme point of zero risk is the only point that is well-defined. Beyond this point, gharar becomes a variable and the gharar involved in a real life contract would lie somewhere on this continuum. Beyond a point on this continuum, risk and uncertainty or gharar becomes unacceptable11. Jurists have attempted to identify such situations involving forbidden gharar. A major factor that contributes to gharar is inadequate information (jahl) which increases uncertainty. This is when the terms of exc hange, such as, price, objects of exchange, time of settlement etc. are not well-defined. Gharar is also defined in terms of settlement risk or the uncertainty surrounding delivery of the exchanged articles. Islamic scholars have identified the conditions which make a contract uncertain to the extent that it is forbidden. Each party to the contract must be clear as to the quantity, specification, price, time, and place of delivery of the contract. A contract, say, to sell fish in the river involves uncertainty about the subject of exchange, about its delivery, and hence, not Islamically permissible. The need to eliminate any element of uncertainty inherent in a contract is underscored by a number of traditions.12 An outcome of excessive gharar or uncertainty is that it leads to the possibility of speculation of a variety which is forbidden. Speculation in its worst form, is gambling. The holy Quran and the traditions of the holy prophet explicitly prohibit gains made from games of chance which involve unearned income. The term used for gambling is maisir which literally means getting something too easily, getting a profit without working for it. Apart from pure games of chance, the holy prophet also forbade actions which generated unearned incomes without much productive efforts.13 Here it may be noted that the term speculation has different connotations. It always involves an attempt to predict the future outcome of an event. But the process may or may not be backed by collection, analysis and interpretation of relevant information. The former case is very much in conformity with Islamic rationality. An Islamic economic unit is required to assume risk after making a proper assessment of risk with the help of information. All business decisions involve speculation in this sense. It is only in the absence of information or under conditions of excessive gharar or uncertainty that speculation is akin to a game of chance and is reprehensible. 3.2 Gharar amp Speculation with of Futures amp Forwards Considering the case of the basic exchange contracts highlighted in section 1, it may be noted that the third type of contract where settlement by both the parties is deferred to a future date is forbidden, according to a large majority of jurists on grounds of excessive gharar. Futures and forwards in currencies are examples of such contracts under which two parties become obliged to exchange currencies of two different countries at a known rate at the end of a known time period. For example, individuals A and B commit to exchange US dollars and Indian rupees at the rate of 1: 22 after one month. If the amount involved is 50 and A is the buyer of dollars then, the obligations of A and B are to make a payments of Rs1100 and 50 respectively at the end of one month. The contract is settled when both the parties honour their obligations on the future date. Traditionally, an overwhelming majority of Sharia scholars have disapproved such contracts on several grounds. The prohibition applies to all such contracts where the obligations of both parties are deferred to a future date, including contracts involving exchange of currencies. An important objection is that such a contract involves sale of a non-existent object or of an object not in the possession of the seller. This objection is based on several traditions of the holy prophet.14 There is difference of opinion on whether the prohibition in the said traditions apply to foodstuffs, or perishable commodities or to all objects of sale. There is, however, a general agreement on the view that the efficient cause (illa) of the prohibition of sale of an object which the seller does not own or of sale prior to taking possession is gharar, or the possible failure to deliver the goods purchased. Is this efficient cause (illa) present in an exchange involving future contracts in currencies of different countries. In a market with full and free convertibility or no constraints on the supply of currencies, the probability of failure to deliver the same on the maturity date should be no cause for concern. Further, the standardized nature of futures contracts and transparent operating procedures on the organized futures markets15 is believed to minimize this probability. Some recent scholars have opined in the light of the above that futures, in general, should be permissible. According to them, the efficient cause (illa), that is, the probability of failure to deliver was quite relevant in a simple, primitive and unorganized market. It is no longer relevant in the organized futures markets of today16. Such contention, however, continues to be rejected by the majority of scholars. They underscore the fact that futures contracts almost never involve delivery by both parties. On the contrary, parties to the contract reverse the transaction and the contract is settled in price difference only. For example, in the above example, if the currency exchange rate changes to 1: 23 on the maturity date, the reverse transaction for individual A would mean selling 50 at the rate of 1:23 to individual B. This would imply A making a gain of Rs50 (the difference between Rs1150 and Rs1100). This is exactly what B would lose. It may so happen that the exchange rate would change to 1:21 in which case A would lose Rs50 which is what B would gain. This obviously is a zero-sum game in which the gain of one party is exactly equal to the loss of the other. This possibility of gains or losses (which theoretically can touch infinity) encourages economic units to speculate on the future direction of exchange rates. Since exchange rates fluctuate randomly, gains and losses are random too and the game is reduced to a game of chance. There is a vast body of literature on the forecastability of exchange rates and a large majority of empirical studies have provided supporting evidence on the futility of any attempt to make short-run predictions. Exchange rates are volatile and remain unpredictable at least for the large majority of market participants. Needless to say, any attempt to speculate in the hope of the theoretically infinite gains is, in all likelihood, a game of chance for such participants. While the gains, if they materialize, are in the nature of maisir or unearned gains, the possibility of equally massive losses do indicate a possibility of default by the loser and hence, gharar. 3.3. Risk Management in Volatile Markets Hedging or risk reduction adds to planning and managerial efficiency. The economic justification of futures and forwards is in term of their role as a device for hedging. In the context of currency markets which are characterized by volatile rates, such contracts are believed to enable the parties to transfer and eliminate risk arising out of such fluctuations. For example, modifying the earlier example, assume that individual A is an exporter from India to US who has already sold some commodities to B, the US importer and anticipates a cashflow of 50 (which at the current market rate of 1:22 mean Rs 1100 to him) after one month. There is a possibility that US dollar may depreciate against Indian rupee during these one month, in which case A would realize less amount of rupees for his 50 ( if the new rate is 1:21, A would realize only Rs1050 ). Hence, A may enter into a forward or future contract to sell 50 at the rate of 1:21.5 at the end of one month (and thereby, realize Rs1075) with any counterparty which, in all probability, would have diametrically opposite expectations regarding future direction of exchange rates. In this case, A is able to hedge his position and at the same time, forgoes the opportunity of making a gain if his expectations do not materialize and US dollar appreciates against Indian rupee (say, to 1:23 which implies that he would have realized Rs1150, and not Rs1075 which he would realize now.) While hedging tools always improve planning and hence, performance, it should be noted that the intention of the contracting party - whether to hedge or to speculate, can never be ascertained. It may be noted that hedging can also be accomplished with bai salam in currencies. As in the above example, exporter A anticipating a cash inflow of 50 after one month and expecting a depreciation of dollar may go for a salam sale of 50 (with his obligation to pay 50 deferred by one month.) Since he is expecting a dollar depreciation, he may agree to sell 50 at the rate of 1: 21.5. There would be an immediate cash inflow in Rs 1075 for him. The question may be, why should the counterparty pay him rupees now in lieu of a promise to be repaid in dollars after one month. As in the case of futures, the counterparty would do so for profit, if its expectations are diametrically opposite, that is, it expects dollar to appreciate. For example, if dollar appreciates to 1: 23 during the one month period, then it would receive Rs1150 for Rs 1075 it invested in the purchase of 50. Thus, while A is able to hedge its position, the counterparty is able to earn a profit on trading of currencies. The difference from the earlier scenario is that the counterparty would be more restrained in trading because of the investment required, and such trading is unlikely to take the shape of rampant speculation. 4. Summary amp Conclusion Currency markets of today are characterized by volatile exchange rates. This fact should be taken note of in any analysis of the three basic types of contracts in which the basis of distinction is the possibility of deferment of obligations to future. We have attempted an assessment of these forms of contracting in terms of the overwhelming need to eliminate any possibility of riba, minimize gharar, jahl and the possibility of speculation of a kind akin to games of chance. In a volatile market, the participants are exposed to currency risk and Islamic rationality requires that such risk should be minimized in the interest of efficiency if not reduced to zero. It is obvious that spot settlement of the obligations of both parties would completely prohibit riba, and gharar, and minimize the possibility of speculation. However, this would also imply the absence of any technique of risk management and may involve some practical problems for the participants. At the other extreme, if the obligations of both the parties are deferred to a future date, then such contracting, in all likelihood, would open up the possibility of infinite unearned gains and losses from what may be rightly termed for the majority of participants as games of chance. Of course, these would also enable the participants to manage risk through complete risk transfer to others and reduce risk to zero. It is this possibility of risk reduction to zero which may enable a participant to earn riba. Future is not a new form of contract. Rather the justification for proscribing it is new. If in a simple primitive economy, it was prevention of gharar relating to delivery of the exchanged article, in todays complex financial system and organized exchanges, it is prevention of speculation of kind which is unIslamic and which is possible under excessive gharar involved in forecasting highly volatile exchange rates. Such speculation is not just a possibility, but a reality. The precise motive of an economic unit entering into a future contract - speculation or hedging may not ascertainable ( regulators may monitor end use, but such regulation may not be very practical, nor effective in a free market). Empirical evidence at a macro level, however, indicates the former to be the dominant motive. The second type of contracting with deferment of obligations of one of the parties to a future date falls between the two extremes. While Sharia scholars have divergent views about its permissibility, our analysis reveals that there is no possibility of earning riba with this kind of contracting. The requirement of spot settlement of obligations of atleast one party imposes a natural curb on speculation, though the room for speculation is greater than under the first form of contracting. The requirement amounts to imposition of a hundred percent margin which, in all probability, would drive away the uninformed speculator from the market. This should force the speculator to be a little more sure of his expectations by being more informed. When speculation is based on information it is not only permissible, but desirable too. Bai salam would also enable the participants to manage risk. At the same time, the requirement of settlement from one end would dampen the tendency of many participants to seek a complete transfer of perceived risk and encourage them to make a realistic assessment of the actual risk. Notes amp References 1. These diverse views are reflected in the papers presented at the Fourth Fiqh Seminar organized by the Islamic Fiqh Academy, India in 1991 which were subsequently published in Majalla Fiqh Islami, part 4 by the Academy. The discussion on riba prohibition draws on these views. 2. Nabil Saleh, Unlawful gain and Legitimate Profit in Islamic Law, Graham and Trotman, London, 1992, p.16 3. Ibn Qudama, al-Mughni, vol.4, pp.5-9 4. Shams al Din al Sarakhsi, al-Mabsut, vol 14, pp 24-25 5. Paper presented by Abdul Azim Islahi at the Fourth Fiqh Seminar organized by Islamic Fiqh Academy, India in 1991. 6. Paper by Dr M N Siddiqui highlighting the issue was circulated among all leading Fiqh scholars by the Islamic Fiqh Academy, India for their views and was the main theme of deliberations during the session on Currency Exchange at the Fourth Fiqh Seminar held in 1991. 7. It is contended by some that the above example may be modified to show the possibility of riba with spot settlement too. In a given moment in time when the market rate of exchange between dollar and rupee is 1:20, if an individual purchases 50 at the rate of 1:22 (settlement of his obligation also on a spot basis), then it amounts to the seller of dollars exchanging 50 with 55 on a spot basis (Since, he can obtain Rs 1100 now, exchange them for 55 at spot rate of 1:20) Thus, spot settlement can also be a clear source of riba. Does this imply that spot settlement should be proscribed too. The fallacy in the above and earlier examples is that there is no single contract but multiple contracts of exchange occurring at different points in time (true even in the above case). Riba can be earned only when the spot rate of 1:20 is fixed during the time interval between the transactions. This assumption is, needless to say, unrealistic and if imposed artificially, perhaps unIslamic. 8. Islam envisages a free market where prices are determined by forces of demand and supply. There should be no interference in the price formation process even by the regulators. While price control and fixation is generally accepted as unIslamic, some scholars, such as, Ibn Taimiya do admit of its permissibility. However, such permissibility is subject to the condition that price fixation is intended to combat cases of market anomalies caused by impairing the conditions of free competition. If market conditions are normal, forces of demand and supply should be allowed a free play in determination of prices. 9. Some Islamic scholars use the term forward to connote a salam sale. However, we use this term in the conventional sense where the obligations of both parties are deferred to a future date and hence, are similar to futures in this sense. The latter however, are standardized contracts and are traded on an organized Futures Exchange while the former are specific to the requirements of the buyer and seller. 10. This is known as bai al inah which is considered forbidden by almost all scholars with the exception of Imam Shafii. Followers of the same school, such as Al Nawawi do not consider it Islamically permissible. 11. It should be noted that modern finance theories also distinguish between conditions of risk and uncertainty and assert that rational decision making is possible only under conditions of risk and not under conditions of uncertainty. Conditions of risk refer to a situation where it is possible with the help of available data to estimate all possible outcomes and their corresponding probabilities, or develop the ex-ante probability distribution. Under conditions of uncertainty, no such exercise is possible. The definition of gharar, Real-life situations, of course, fall somewhere in the continuum of risk and uncertainty. 12. The following traditions underscore the need to avoid contracts involving uncertainty. Ibn Abbas reported that when Allahs prophet (pbuh) came to Medina, they were paying one and two years advance for fruits, so he said: Those who pay in advance for any thing must do so for a specified weight and for a definite time. It is reported on the authority of Ibn Umar that the Messenger of Allah (pbuh) forbade the transaction called habal al-habala whereby a man bought a she-camel which was to be the off-spring of a she-camel and which was still in its mothers womb. 13. According to a tradition reported by Abu Huraira, Allahs Messenger (pbuh) forbade a transaction determined by throwing stones, and the type which involves some uncertainty. The form of gambling most popular to Arabs was gambling by casting lots by means of arrows, on the principle of lottery, for division of carcass of slaughtered animals. The carcass was divided into unequal parts and marked arrows were drawn from a bag. One received a large or small share depending on the mark on the arrow drawn. Obviously it was a pure game of chance. 14. The holy prophet is reported to have said Do not sell what is not with you Ibn Abbas reported that the prophet said: He who buys foodstuff should not sell it until he has taken possession of it. Ibn Abbas said: I think it applies to all other things as well. 15. The Futures Exchange performs an important function of providing a guarantee for delivery by all parties to the contract. It serves as the counterparty in the exchange for both, that is, as the buyer for the sale and as the seller for the purchase. 16. M Hashim Kamali Islamic Commercial Law: An Analysis of Futures, The American Journal of Islamic Social Sciences, vol.13, no.2, 1996 Send Your Comments to: Dr Mohammed Obaidullah, Xavier Institute of Management, Bhubaneswar 751 013, India

No comments:

Post a Comment